Biografi Sang Penakluk Konstatinopel, Muhammad Al-Fatih
Nama Muhammad Al-Fatih kembali terangkat ke publik global, setelah Presiden Turki Recep Tayip Erdogan mengeluarkan kebijakan pengalihan fungsi meseum Hagia Sophia menjadi Masjid Hagia Sophia, dimana ini menuai berbagai penolakan di beberapa negara Barat.
Siapa sebenarnya Muhammad Al-Fatih dan apa hubungannya dengan Hagia Shopia? berikut ulasannya..
Mehmed II, juga dikenal secara luas dengan Muhammad al-Fatih, merupakan penguasa Utsmani ketujuh dan berkuasa pada 1444 – 1446 dan 1451 – 1481.
Capaiannya yang paling dikenal luas adalah penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453 yang mengakhiri riwayat Kekaisaran Romawi Timur, menjadikannya mendapat julukan "Sang Penakluk".
Muhammad Al-fatih dikenal sebagai pemimpin yang cakap dan mempunyai kepakaran dalam bidang kemiliteran, ilmu pengetahuan, matematika, dan menguasai enam bahasa saat berumur 21 tahun.
Dia dikenal sebagai pahlawan di Turki maupun dunia Islam secara luas. Dalam sejarah Islam, Muhammad Al-Fatih dikenal sebagai salah seorang pemimpin yang hebat sebagaimana Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di 'Ain Al-Jalut melawan tentara Mongol).
Di pemerintahan, Muhammad Al-Fatih lebih memilih para pejabat tinggi dari latar belakang kalangan bawah daripada mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, menjadikan kendali negara benar-benar terpusat pada sultan.
Perjalanan Hidup Al-Fatih
Mehmed lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, ibu kota Utsmaniyah kala itu. Dia merupakan anak dari Sultan Murad II dan Hüma Hatun.
Saat Muhammad Al-Fatih berusia sebelas tahun, dia dikirim untuk memerintah Amasya, sesuai tradisi Utsmani untuk mengutus para şehzade (pangeran) yang sudah cukup umur untuk memerintah di suatu wilayah sebagai bekal bila naik takhta kelak.
Murad juga mengirimkan banyak guru untuk mendidik putranya, di antaranya adalah Molla Gürani. Syaikh Muhammad Syamsuddin bin Hamzah, salah satu ulama berpengaruh kala itu, juga menjadi guru dan orang dekatnya, membuatnya sangat mempengaruhi Muhammad Al-Fatih sejak usia muda, utamanya dalam masalah pentingnya penaklukan Konstantinopel.
Setelah mengadakan perjanjian damai dengan Kadipaten Karaman di Anatolia pada 1444, Murad yang sebenarnya lebih tertarik dalam masalah agama dan seni daripada politik turun takhta dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada Muhammad Al-Fatih yang saat itu masih dua belas tahun.
Dengan keadaan seperti ini, wazir agung (perdana menteri) saat itu, Çandarlı Halil Pasya, memiliki kendali kuat atas negara. Halil Pasya sendiri berasal dari keluarga Çandarlı, salah satu keluarga paling berpengaruh dalam sejarah Utsmani (selain Wangsa Utsmaniyah sendiri) yang telah berhasil menciptakan politik dinasti dalam negara. Meski begitu, pengaruhnya tersaingi oleh Syaikh Syamsuddin yang sangat dekat dengan Muhammad Al-Fatih.
Pada periode pertama masa kekuasaan Mehmed, pihak Utsmani diserang Kerajaan Hongaria yang dipimpin János Hunyadi yang melanggar gencatan senjata yang tertuang dalam Perjanjian Szeged (1444).
Saat itu Muhammad Al-Fatih meminta ayahnya untuk kembali naik takhta, tetapi Murad menolak. Sebagai balasan, Mehmed menulis surat, "Bila Ayah adalah Sultan, datanglah dan pimpinlah pasukan Ayah. Bila aku adalah Sultan, aku memerintahkan Ayah untuk datang dan memimpin pasukanku."
Murad kemudian datang dan memimpin pasukan, mengalahkan pasukan gabungan Hongaria-Polandia dan Wallachia yang dipimpin oleh Władysław III, Raja Hongaria dan Polandia; János Hunyadi, komandan pasukan gabungan Kristen; dan Mircea II, Voivode (Adipati/Pangeran) Wallachia dalam Pertempuran Varna (1444).
Sejarah Kota Konstatinopel dan Hagia Sophia
Konstantinopel, kota yang didirikan Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada 330 M, merupakan salah satu kota termasyur di dunia kala itu.
Dikutip dari Wikipedia, di dunia Kristen, kota ini menjadi yang terdepan dalam segi kebudayaan dan kesejahteraan, utamanya pada masa Wangsa Komnenos. Sebelas abad berikutnya, berbagai upaya penaklukan kota ini dilakukan oleh banyak pihak.
Para pemimpin Muslim dari generasi ke generasi, diawali Mu'awiyah bin Abi Sufyan, juga termasuk mereka yang berusaha menaklukan Konstantinopel, meskipun semua upaya itu gagal. Meski begitu, sebelum tahun 1453, hanya satu kali kota ini berhasil diduduki, yakni pada masa Perang Salib Keempat.
Pasukan Salib menduduki Konstantinopel dan mendirikan Kekaisaran Latin (Romawi Timur Katolik) pada 1204. Pasukan Salib menghancurkan berbagai hal di kota yang sebelumnya menjadi pusat agama Ortodoks ini.
Hagia Sophia menjadi tempat mabuk-mabukan, berbagai bangunan sekuler dan keagamaan (gereja dan biara) tidak luput dari pengrusakan, para biarawati diperkosa di biara mereka, dan orang-orang yang sekarat terbaring sampai mati di jalan-jalan.
Para bangsawan Romawi Timur Ortodoks kemudian mendirikan pemerintahan darurat di tiga tempat, Nicea, Trebizond, dan Epirus.
Pada masa kekuasaan Kekaisaran Latin, Konstantinopel mengalami kemunduran dalam berbagai segi. Sepertiga penduduk menjadi tuna wisma. Para pejabat, bangsawan, dan pemuka agama tinggi diasingkan. Segala kerusuhan ini menjadikan populasi Konstantinopel berkurang drastis. Timah dan perunggu dari berbagai bangunan diambil dan dijual untuk membiayai pertahanan negara.
Hagia Sophia yang awalnya merupakan Basilika Kristen Ortodoks diubah menjadi Basilika Katolik sampai akhir masa kekuasaan pihak Katolik di Konstantinopel.
Pihak Nicea mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Latin Katolik dengan merebut kembali Konstantinopel, memulihkan kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur Ortodoks pada 1261, tetapi pemerintahan di Trebizond dan Epirus masih terus berlanjut secara mandiri sebagai negara berdaulat.
Meski Pemerintahan Romawi Timur Ortodoks telah dipulihkan, negara telah kehilangan banyak sumber daya dan ekonominya dan berjuang untuk bertahan. Kaisar Mikhael VIII Palaiologos berhasil memulihkan sebagian keadaan Konstantinopel dan di masa kekuasaannya, penduduk Konstantinopel yang awalnya tinggal sekitar 35.000 jiwa naik dua kali lipat.
Namun keadaan negara jatuh dalam kekacauan saat terjadi perang saudara sepeninggal Kaisar Andronikos III Palaiologos, Serbia menduduki sebagian wilayah kekaisaran, begitu juga Utsmani yang menguasai sebagian besar Balkan setelah Pertempuran Kosovo.
Penaklukan Konstatinopel
Saat Muhammad Al-Fatih kembali naik takhta pada 1451, dia memusatkan perhatiannya untuk memperkuat angkatan laut Utsmani untuk persiapan penaklukan Konstantinopel.
Di tepi Selat Bosporus bagian Asia, telah berdiri benteng Anadolu Hisarı yang dibangun oleh Sultan Bayezid I. Muhammad Al-Fatih menindaklanjuti dengan membangun benteng Rumeli Hisarı yang lebih kokoh di tepi Eropa Bosporus.
Pembangunan ini menjadikan Utsmani memiliki kendali penuh atas Selat Bosporus. Setelah pembangunan benteng, Muhammad Al-Fatih memerintah pemungutan pajak atas setiap kapal yang melewati selat. Pihak Venesia mengabaikan peraturan tersebut dan kapal mereka tenggelam dengan satu tembakan meriam.
Semua pelaut yang selamat dihukum penggal, kecuali kapten kapal yang jasadnya dipajang sebagai peringatan bagi mereka yang melewati selat.
Pada tahun 1453, Muhammad Al-Fatih memulai pengepungan Konstantinopel dengan pasukan berjumlah antara 80.000 sampai 200.000 orang, kereta api artileri, dan 320 kapal.
Kota ini dikelilingi oleh laut dan darat, armada ditempatkan di pintu Bosporus dari pantai ke pantai dalam bentuk bulan sabit untuk menghadang bantuan untuk Konstantinopel dari laut.
Pada awal April, upaya penaklukan Konstantinopel dimulai. Pada awalnya, tembok kota dapat menahan pasukan Utsmani, meskipun Sultan Mehmed telah menggunakan meriam yang dibuat oleh Orban, insinyur dari Transilvania. Pelabuhan Tanduk Emas dilindungi menggunakan rantai penghadang dan dijaga dua puluh delapan kapal.
Dalam pengepungan ini, pihak Romawi Timur meminta bantuan dari Barat, tetapi Paus memberikan persyaratan agar Gereja Ortodoks Timur bersedia bergabung di dalam kewenangan kepausan di Roma.
Pihak kekaisaran sendiri sebenarnya telah mengeluarkan maklumat penyatuan gereja, tetapi warga dan pemuka agama Ortodoks mengabaikannya karena kebencian mereka pada kewenangan Roma dan ritus liturgi Latin dalam Katolik, juga lantaran perbuatan umat Katolik pada masa pendudukan mereka atas Konstantinopel saat Perang Salib Keempat.
Beberapa pasukan Barat datang memberikan bantuan, tapi sebagian besar penguasa di Barat sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan nasib Konstantinopel.
Pada 22 April, Mehmed mengirimkan kapal perangnya yang lebih ringan ke darat, di sekitar koloni Genova di Galata, dan ke pantai utara Tanduk Emas. Delapan puluh kapal dikirim dari Bosporus setelah membuka rute, kurang lebih satu mil, dengan kayu.
Sementara pihak Romawi menempatkan pasukan mereka di atas dinding yang lebih panjang. Sekitar sebulan kemudian, Konstantinopel akhirnya berhasil ditaklukan pihak Utsmani setelah 57 hari pengepungan.
Setelah penaklukan ini, Mehmed memindahkan Ibu Kota Utsmani dari Edirne ke Konstantinopel. Dua keponakan dan pewaris Kaisar Konstantinus XI Palaiologos lantas menjadi pelayan dekat Mehmed dan kemudian masuk Islam dan diberi nama baru, Hass Murad dan Mesih.
Hass Murad diangkat sebagai Gubernur Balkan, sementara Mesih menjadi Gubernur Gallipoli dan kemudian wazir agung pada masa kekuasaan putra Mehmed, Bayezid II.
Kaisar Konstantinus XI sendiri meninggal pada hari penaklukan Konstantinopel, tetapi tidak ada saksi mata yang selamat yang melihat kematiannya. Kisah masyhur yang beredar menyatakan bahwa Konstantinus menanggalkan jubah kebesarannya dan berperang bersama prajurit yang tersisa sampai meninggal dalam pertempuran.
Setelah penaklukan Konstantinopel
Mehmed menghukum mati Çandarlı Halil Pasya pada 1 Juni 1453. Setelah peristiwa ini, keluarga Çandarlı kehilangan pengaruh yang mereka dapatkan sebelumnya. Meski anggota keluarga ini ada yang diangkat menjadi wazir agung pada masa kekuasaan Bayezid II. Halil Pasya merupakan wazir agung pertama yang dihukum mati oleh Sultan.
Saat pasukan Utsmani bergerak menuju Konstantinopel, Syaikh Syamsuddin menemukan makam Abu Ayyub al-Anshari, sahabat Nabi Muhammad SAW yang meninggal dalam Pengepungan Konstantinopel (674–678).
Setelah Konstantinopel ditaklukan, Mehmed membangun Masjid Eyüp Sultan (Eyüp Sultan Camii) di tempat tersebut untuk menandai pentingnya penaklukan Konstantinopel dalam Islam dan pentingnya peran Mehmed sebagai ghazi.
Setelah mengambil alih kepemimpinan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih mengubah Hagia Sophia (dieja Aya Sofya dalam bahasa Turki) yang semula adalah Basilika Ortodoks menjadi masjid.
Muhammad Al-Fatih juga segera memerintahkan pembangunan ulang kota, termasuk memperbaiki dinding, membangun benteng, juga membangun istana baru. Untuk mendorong kembali orang-orang Yunani dan Genova yang pergi dari Galata, Mehmed memerintahkan pengembalian rumah-rumah mereka dan memberikan jaminan keamanan.
Muhammad Al-Fatih juga memerintahkan pendirian bangunan Muslim dan komersial, seperti Masjid Rum Mehmed Pasya. Dari sini, kota berkembang dengan cepat.
Pada akhir masa kekuasaannya, Konstantinopel berubah menjadi ibu kota kekaisaran yang megah. Menurut sejarawan Utsmani kontemporer, Mevlânâ Mehmed Neşri, "Sultan Mehmed membuat keseluruhan Istanbul." Lima puluh tahun mendatang, Konstantinopel kembali menjadi kota terbesar di Eropa.
Di dunia Arab, Konstantinopel dieja dengan sebutan Qusṭanṭīniyya. Setelah Utsmani mengambil alih kota, nama Kostantiniyye yang merupakan ejaan Turki Utsmani dari kata Qusṭanṭīniyya digunakan sebagai nama resmi kota ini dalam bahasa Turki Utsmaniyah. Nama Islambol (berarti "Islam keseluruhannya") dibuat setelah penaklukan Konstantinopel dan digunakan untuk merujuk kota ini sebagai bentuk pernyataan kedudukan kota ini sebagai ibu kota Kekaisaran Utsmani Islam.
Penulis kontemporer menyatakan Sultan Muhammad Al-Fatih sendiri yang membentuk nama itu. Beberapa sumber Utsmani menyatakan bahwa Islambol adalah nama umum yang digunakan saat itu.
Antara abad ketujuh belas dan delapan belas, nama itu digunakan secara resmi. Penggunaan pertama kata Islambol dalam uang logam dilakukan pada tahun 1703 pada masa pemerintahan Sultan Ahmed III. Meski begitu, nama Kostantiniyye juga masih digunakan hingga abad kedua puluh.
Demikianlah sejarah Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukan konstatinopel dan mengubah Hagia Sophia menjadi mesjid. Namun di jaman Kemal Ataturk, sang pencentus sekularisme Turki, ia mengubah Hagia Sophia menjadi meseum. Kini setelah Erdogan memimpin Turki, Hagia Sophia kembali difungsikan sebagai mesjid. (Muthmainnah) ***
0 comments:
Post a Comment