Inilah Kisah Hidup 7 Pahlawan Revolusi Yang Gugur Saat G30S/PKI
Peristiwa Gerakan 30 September atau G30S /PKI menewaskan 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah yang akhirnya ditetapkan menjadi pahlawan revolusi.
Kali ini tim Biografi.co.id akan mengulas Biografi 7 pahlawan revolusi. Berikut ulasannya.
Pemberontakan Gerakan 30 September mengakibatkan gugurnya tujuh perwira TNI Angkatan Darat, yakni Jenderal TNI Achmad Yani, Letjen R Suprapto, Letjen S Parman, Letjen MT Haryono, Letjen DI Panjaitan, Mayjen Soetojo Siswomihardjo, dan Kapten Pierre Andries Tendean.
G30S PKI atau Gerakan 30 September PKI adalah peristiwa kudeta yang berakhir tragis pada 30 September malam hingga 1 Oktober1965 . 7 pahlawan revolusi korban G30S PKI dibunuh dan dibuang ke dalam Lubang Buaya.
Ketujuh jenderal tersebut dibunuh dan dibuang ke dalam sebuah lubang di kawasan Jakarta Timur. Kini, tempat ditemukannya ketujuh pahlawan tersebut telah menjadi bagian dari Monumen Pancasila Sakti, tempat untuk mengenang peristiwa kelam itu.
Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam tragedi pada tanggal 30 September 1965 malam dan 1 Oktober 1965 dini hari. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar ini diakui juga sebagai Pahlawan Nasional.
Berikut kami mengulas biografi singkat ketujuh pahlawan revolusi tersebut.
1. Jenderal Ahmad Yani
Jenderal TNI Ahmad Yani, lahir di Jenar, Purworejo, pada 19 Juni 1922. Pada 1962, ia diangkat Presiden Sukarno menjadi Panglima Angkatan Darat keenam, menggantikan Abdul Haris Nasution.
Pria yang wafat dalam usia 43 tahun ini sempat ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan di Kansas. Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Ahmad Yani memiliki kemampuan mengenai operasi gabungan yang pertama kali dipraktikan dalam menumpas Permesta di Sumatra Barat dalam Operasi 17 Agustus.
Pada 1 Oktober 1965, Ahmad Yani diculik dan dibunuh di rumahnya, di Jalan Latuharhary Nomor 6, Menteng, Jakarta.Hingga jenazahnya dibawa ke Lubang Buaya. Ia menjadi sasaran PKI lantaran sangat menentang keberadaan faham komunis di tanah air.
Jenderal TNI Ahmad Yani sempat berdebat sengit saat rumahnya dikepung tentara antek PKI. Namun, perdebatan itu justru membuat sang jenderal bersimbah darah karena ditembak oleh para tentara tersebut. Usai jenazahnya ditemukan, pada 5 Oktober 1965, Ahmad Yani dianugerahi Pahlawan Revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi Anumerta. Kini, namanya diabadikan sebagai sejumlah nama jalan di berbagai daerah di Indonesia.
2. Letnan Jenderal Suprapto
Letjen R Soeprapto lahir di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 20 Juni 1920. Pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, ia sempat ditawan dan dimasukkan ke dalam penjara, namun berhasil kabur. Menjelang wafat, ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra.
Pada 1 Oktober 1965, ia diculik dan dibunuh. Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, jenazahnya juga dimasukan ke dalam Lubang Buaya. Sebelum akhirnya tewas di tangan PKI, beliau pernah meredam beberapa pemberontakan PKI di berbagai wilayah seperti Semarang dan Medan. Usai ditemukan, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah.
3. Letnan Jenderal Siswondo Parman
Letnan Jenderal S.Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada 4 Agustus 1918. Semasa hidupnya, ia pernah mengenyam pendidikan di Amerika Serikat pada 1951. Ia juga pernah menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara di Yogyakarta (Desember 1945), Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya (1949), Kepala Staf G (1950), hingga Atase Militer RI di London (1959).
Menjelang wafat, S. Parman menjabat sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat mayor jenderal. Ia juga gugur pada 1 Oktober 1965 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan. Letnan Jenderal S Parman dijemput di rumahnya oleh pasukan berseragam Tjakrabirawa (Istana Garda) pada pukul 04.30 WIB. Ia dimasukkan ke dalam truk dan kemudian ditembak mati sebelum dibuang ke Lubang Buaya. Untuk mengenang jasa S Parman, namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah.
4. Letnan Jenderal M.T. Haryono
Mas Tirtodarmo (MT) Haryono merupakan pahlawan revolusi yang lahir di Surabaya, 20 Januari 1924. Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, M.T. Haryono mampu menguasai empat bahasa yakni Bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, dan Belanda. Berkat kemampuan tersebut, ia sering dibutuhkan dalam perundingan dengan Belanda maupun Inggris.
Ia sempat bertugas di Belanda sebagai Atase Militer Indonesia. Namun, ia kembali ke Indonesia untuk beragam tugas hingga akhirnya pada 1964 diangkat Presiden Sukarno sebagai Deputy III Menteril Panglima Angkatan Darat. Letnan Jenderal MT Haryono yang mengerti 3 bahasa asing ini juga diculik pada saat hari kejadian, Letnan Jenderal M.T Haryono. Sebelum tewas di tangan PKI, ia sempat berusaha kabur tetapi kelompok tersebut melepaskan beberapa tembakan ke tubuhnya. Kemudian dibantai di Lubang Buaya.
5. Mayor Jenderal D.I. Panjaitan
Donald Izacus (D.I) Panjaitan lahir di Sitorang, Balige pada 10 Juni 1925. Mengutip situs Pemprov DKI Jakarta, DI Panjaitan merupakan sosok yang gemar musik klasik dan penganut Protestan yang taat.
Sesudah pengakuan kedaulatan, ditunjuk sebagai Kepala Operasi di Medan dan lalu dipindahkan ke Territorium II (Sumatra Selatan). Pernah menjabat Atase Militer di Bonn (Jerman Barat) untuk selanjutnya ditugaskan lagi sebagai Deputy I KASAD dengan pangkat Kolonel.
Sewaktu menjabat Asisten IV/Men Pangad, ia mengikuti pendidikan Associate Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat selama enam bulan (Desember 1963-Juni 1964).
Beliau dan bersama para pemuda anak bangsa lain yang dulunya merintis pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI saat ini. Saat itu beliau menggunakan seragam militer lengkap ketika tahu bahwa sekelompok anggota PKI datang ke rumahnya dan telah membunuh pelayan serta ajudannya.
Ia juga gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September itu. Setelah wafat, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal Anumerta, dengan diberi gelar pahlawan revolusi, serta namanya diabadikan sebagai nama jalan.
6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo
Pahlawan revolusi ini lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 23 Agustus 1922. Sebelum menjadi tentara, ia sempat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Kabupaten Purworejo, namun berhenti dengan hormat pada 1944.
Pasca-proklamasi kemerdekaan, ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian kepolisian yang berkembang jadi Corps Polisi Militer (CPM). Pada Juni 1946, ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto yang ketika itu menjadi Komandan Polisi Tentara (PT).
Mengutip situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Sutoyo terus mengabdikan diri di lingkungan CPM usai pengakuan kedaulatan. Pada 1954, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer. Dua tahun kemudian ia bertugas di London sebagai Asisten Atase Militer RI untuk Inggris.
Setelah kembali ke tanah air, ia mengikuti Kursus C Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Kemudian ia diangkat menjadi Pejabat Sementara Inspektur Kehakiman Angkatan Darat (Irkeh AD). Berkat pengetahuan yang cukup dan pengalaman yang luas di bidang hukum, pada 1961 ia diserahi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD).
Pada saat masih mengemban jabatan tersebut, Sutoyo juga diculik dalam menyerahkan diri oleh gerombolan PKI setelah itu ditembak mati untuk dibuang bersama korban yang lain. Para penculik mengatakan Mayjen Sutoyo dipanggil oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno, tapi ternyata itu bohong.
Sama seperti pahlawan revolusi lainnya, jenazah Sutoyo kemudian dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, dan namanya diabadikan sebagai nama jalan.
7. Perwira TNI Lettu Pierre Tendean
Pierre Andries Tendean merupakan Anggota TNI Angkatan Darat berpangkat Kapten, yang lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Ia merupakan ajudan Menko Hankam Jenderal AH Nasution yang berhasil lolos dari penculikan pada gerakan 30 September. Pierre Tandean sangat dekat dengan anak dari Jenderal Abdul haris Nasution yang bernama Ade Irma yang menjadi korban penembakan oleh PKI.
Pierre diculik dapatuh ditembak mati di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pria 26 tahun itu dimakamkan di TMP Kalibata, Ia menjadi korban yang salah sasaran oleh PKI karena sasaran utama adalah Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution,saat itu Pierre Tandean mengaku sebagai jenderal besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution, di ketahui saat itu Pierre Tandean akan segera menikah dengan kekasihnya. Pierre Tandean akhirnya dianugerahi penghargaan Satya Lencana Saptamarga, dan namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Ke tujuh Pahlawan ini telah di abadikan dalam sejumlah patung, dalam monumen yang terletak di daerah Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur ini, berisikan bermacam-macam hal dari masa pemberontakan G30S - PKI, seperti pakaian asli para Pahlawan Revolusi.
Monumen ini dibangun di atas lahan seluas 9 Hektar, atas prakarsa Presiden ke-2 RI, Soeharto. Dibangun untuk mengingat perjuangan para Pahlawan Revolusi yang berjuang mempertahankan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila dari ancaman ideologi komunis.
Monumen ini terletak Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Di sebelah selatan terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia, Cilangkap, sebelah utara adalah Bandar Udara Halim Perdanakusuma, sedangkan sebelah timur adalah Pasar Pondok Gede, dan sebelah barat, Taman Mini Indonesia Indah.
Sebelum menjadi sebuah museum sejarah, tempat ini merupakan tanah atau kebun kosong yang dijadikan sebagai tempat pembuangan terakhir para korban Gerakan 30 September 1965 (G30S).
Di kawasan kebun kosong itu terdapat sebuah lubang sumur tua sedalam 12 meter yang digunakan untuk membuang jenazah para korban G30S. Sumur tua itu berdiameter 75 Cm.
*****
0 comments:
Post a Comment